Pertanian Organik: Pertanian Masa Depan yang (Jangan) Diragukan

August 29, 2008 at 10:35 am | Posted in Environment, Organic Farming | Leave a comment

Perkembangan pertanian organik di Indonesia dewasa ini cukup pesat. Ini merupakan salah satu pertanda positif bahwa pertanian organik mulai mendapat tempat di hati masyarakat, baik produsen maupun konsumen. Namun di sisi lain, kendala pengembangan pertanian organik di Indonesia juga masih besar, bahkan lebih besar dibandingkan laju perkembangannya. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, sehingga tak heran jika sampai kini pertanian masih menjadi wacana marjinal dan diragukan kemungkinannya sebagai pertanian masa depan yang menjanjikan.

Faktor Penunjang Pertanian Organik
Perkembangan pertanian organik di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan pertanian organik dunia, bahkan dapat dikatakan sebagai trigger factor bagi gerakan pertanian organik lokal. Ini adalah karena tingginya permintaan produk organik di negara-negara maju. Prof Ulrich Hamm dan Johannees Michelsen, PhD, dalam karyanya “Analysis of the organic food market in Europe” (2000) menyebutkan tingginya permintaan produk organik di negara-negara maju dipicu oleh (1) menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2) dukungan kebijakan pemerintah nasional, (3) dukungan industri pengolahan pangan, (4) dukungan pasar konvensional (supermarket menyerap 50% produk pertanian organik), (5) adanya harga premium di tingkat konsumen, (6) adanya label generik, (7) adanya kampanye nasional pertanian organik secara gencar.
Upaya diatas masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan permintaan pertanian organik dunia mencapai 15-20% pertahun dengan pangsa pasar mencapai US$ 100 juta (FG. Winarno, 2001). Namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0,5-2% dari keseluruhan produk pertanian. Meski di Eropa penambahan luas areal pertanian organik terus meningkat dari rata-rata dibawah 1% (dari total lahan pertanian) tahun 1987, menjadi 2-7% di tahun 1997 (tertinggi di Austria mencapai 10,12%), namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Desmond Jolly, From Cottage Industry to Conglomerates: The Transformation of the US Organic Food Industry, 2000). Inilah kemudian yang memacu permintaan produk pertanian organik dari negara-negara berkembang.
Selain faktor di atas, perkembangan pertanian organik di Indonesia juga didorong oleh munculnya keadaran konsumen akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan, khususnya di kalangan kelas menengah perkotaan. Sebagian lagi, didorong oleh kampanye dan advokasi aktivis LSM baik dalam isu lingkungan maupun pendampingan petani. Di kalangan petani sendiri mulai muncul kesadaran untuk menerapkan pertanian organik, terutama di basis yang didampingi LSM atau area yang belum tersentuh kebijakan Revolusi Hijau. Namun demikian, pemicu ini tetaplah masih bersifat marjinal dibanding faktor di atas.

Pertanian Organik, Malthusianisme dan Reduksionisme
Di balik kabar baik mengenai pertanian organik sebagaimana disebut di muka, secara obyektif masih banyak kendala dalam pengembangannya. Bahkan, kendala ini masih lebih besar dan kuat dibanding kemajuannya. Secara faktual pelaku pertanian organik masih sangat sedikit di seluruh dunia, yakni kurang dari 2 % terhadap seluruh pelaku pertanian yang ada. Dengan kata lain, pertanian organik masih merupakan kegiatan marjinal.
Kendala yang ada jika ditilik lebih jauh, ada yang berakar dari kesangsian mengenai kemampuan pertanian organik dalam memecahkan persoalan pemenuhan pangan dan keberlanjutan kehidupan. Argumen pertama yang biasa mengemuka adalah anggapan bahwa produktivitas pertanian organik rendah sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan yang terus meningkat. Argumen kedua, pertanian organik dianggap sebagai pertanian masa lalu yang tidak produktif dan di tingkat tertentu anti teknologi. Argumen ketiga, pertanian organik tidak layak secara ekonomis dan karenanya tidak menguntungkan.
Kesangsian pertanian organik tidak mampu menyelesaikan persoalan kebutuhan pangan sudah menjadi perdebatan lama. Menurut para birokrat, akademisi dan pengambil keputusan publik, pertanian organik secara teknis dianggap tidak mampu memberikan produktivitas hasil yang tinggi, sehingga tidak bisa menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi manusia. Jika dilihat lebih dalam, pemikiran ini beranjak dari ‘kekuatiran Malthusian’ yang menganggap bahwa pertambahan manusia lebih cepat daripada laju pangan. Kekuatiran inilah yang mendasari pencarian teknologi yang mampu melipatgandakan hasil pangan dan pertanian.
Namun, teknologi yang berkembang kemudian justru teknologi yang menjadikan produktivitas sebagai tujuan utama pertanian, dengan mangabaikan tujuan lain. Hal ini nampak jelas, dalam program revolusi hijau, dimana selain hasil yang tinggi, faktor lingkungan, kenekaragaman hayati, konservasi dan keselamatan keberlanjutan pertanian diabaikan.
Fritjof Capra, fisikawan dunia, dalam bukunya The Turning Point (1986), menyebut reduksionisme sebagai biang kerusakan dunia, yang gemar memilah-milah persoalan dalam bagian-bagian kecil. Reduksionisme berakar dari pemikiran Descartes, filsuf Perancis, yang menemukan pendasaran matematika atas logika, yang kemudian cenderung memandang segala sesuatu secara linier dan terpilah-pilah. Inilah yang melahirkan rasionalisme (buta) yang melihat segala sesuatu secara material-fisik saja. Paradigma Cartesian inilah yang menjadi mainstream ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang hingga hari ini.
Dalam konteks pertanian, reduksionisme ini terlihat dalam Revolusi Hijau, Gunawan Wiradi, pakar agraria Indonesia, dalam sebuah seminar pertanian organik di Klaten (1999), mencontohkan bagaimana reduksionisme ini muncul sebagai paradigma dasar revolusi hijau. Para pemikir revolusi hijau, hanya memandang produktivitas sebagai tujuan tunggal, maka apa yang dikatakan sebagai ‘hama’, ‘gulma’ dan tanaman lain selain tanaman utama sah saja dimusnahkan (dianggap musuh) bila dianggap mengganggu pencapaian hasil tanaman utama. Begitu juga dalam pemakaian input, yang hanya membatasi pada pemakaian unsur N, P, K sebagai makanan utama tanaman. Akibat paradigma yang eksploitatif, yang memandang pertanian sebagai ‘medan perang’ untuk memenangkan produksi pangan, adalah kerusakan lingkungan, merosotnya keanekaragaman hayati lokal, pencemaran lingkungan, air dan udara, serta ketergantungan secara sistematis petani terhadap ‘pihak luar’.
Pemujaan produktivitas yang berlebihan dengan meletakkan benih unggul, pupuk dan pestisida sebagai determinan kunci pada gilirannya melupakan bahwa persoalan pangan bukan semata soal produktivitas, tetapi juga soal manajemen institusi menyangkut distribusi, pengairan, inovasi teknologi lain dsb. Amartya Sen, ekonom India penerima nobel, dalam satu stusi kasusnya di tahun 1980-an menemukan satu daerah di India mengalami kelaparan hebat, tetapi di daerah lain berkelimpahan pangan. Terbukti kelaparan, menurutnya, bukan soal sekedar kelangkaan pangan (karena teknologi rendah), tetapi juga soal kepemilikan dan akses terhadapnya .
Syarifuddin Karama, staf ahli Menteri Pertanian RI, dalam Seminar Standarisasi Pertanian Organik di Bogor Juli 2001, pernah menyebutkan adanya inefisiensi pengelolaan irigasi Indonesia. Efektivitas pengairan di Indonesia hanya sekitar 15% pada musim hujan, dan 4% pada musim kemarau. Sementara di India, baik musim hujan dan kemarau efektivitasnya mencapai 40%. Dengan pengairan tersebut, produksi jagung per ha di India mencapai 10 ton, sedang ubi kayu mencapai 60 ton per ha. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 4 ton/ha untuk jagung dan 15 ton/ha untuk ubi kayu. Jelas, perbaikan manejemen irigasi mampu meningkatkan produktivitas tanpa harus mengubah perlakuan pemupukan.
Penemuan system rice of intensification (SRI) oleh Henri de Lauline, seorang Jesuit di Madagaskar, ternyata mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi hingga mencapai 8 ton per ha, bahkan diantaranya ada yang mampu mencapai 10-15 ton per ha. SRI tidak mensyaratkan benih unggul atau pemupukan intensif, tetapi lebih menekankan pada perlakuan transplantasi bibit, jarak tanam, dan waktu pengairan yang tepat berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kehidupan tanaman padi (ECHO Development Note, Issue 70, Januari 2001). Artinya,inovasi teknologi seperti ini mampu mengatasi pesimisme Malthusian.

Pertanian Organik Antiteknologi?
Argumen bahwa pertanian organik adalah pertanian masa lalu, yang tradisional, subsisten dan tidak produktif, berakar dari cara pandang modernisme yang juga adalah anak dari Cartesianisme. Sekarang ini ada tuduhan, bahwa kearifan tradisional (pertanian cara lama) adalah anti teknologi (modern), sehingga menganjurkan pertanian organik seolah identik dengan anti teknologi dan menghambat kemajuan. Bahwa dalam praktek pertanian tradisional (pertanian organik) ada faktor inefisiensi adalah hal yang wajar. Tetapi, mengabaikan faktor kearifan lokal, budaya dan tujuan non produktivitas adalah solusi yang tidak bijak.
Perlu diluruskan juga, bahwa pertanian organik tidak anti teknologi. Pertanian organik juga bukan pertanian jaman baheula dan mau kembali ke tradisi kuno. Namun, pertanian organik adalah pertanian yang berangkat dari paradigma holistik dalam memandang alam semesta. Dalam cara pandang ini manusia menjadi bagian dari alam dan tujuan terbesar dari praksis pertanian adalah untuk keberlanjutan alam semesta. Pemenuhan pangan adalah bagian intrinsik dalam keberlanjutan alam semesta itu sendiri. Dalam kerangka ini, pengembangan teknologi haruslah mengindahkan segala aspek kehidupan dalam keseimbangan dan keberlanjutan alam semesta. Tradisi lama atau kearifan lokal dirujuk dalam pertanian organik, lebih karena sumbangannya dalam paradigma holistik yang menghargai keselarasan alam, dibandingkan karena teknologinya.
Pandangan ini berbeda dengan cara pandang antroposentrisme, yang menjadikan manusia sebagai sentral kehidupan, bahkan mengatasi alam. Seolah manusia adalah ciptaan tertinggi yang punya kuasa menentukan hidup matinya alam semesta dan kehidupan. Sebagaimana reduksionisme, antroposentrisme menjadi paradigma mainstream umat manusia sekaligus merupakan faktor penyulit pengembangan pertanian organik.

Pertanian Organik Tidak Menguntungkan?
Argumentasi lain menyangkut pesimisme keuntungan akan pertanian organik yang dianggap tidak menguntungkan. Memang pada tahap awal dan dalam jangka pendek, pertanian organik akan memberikan hasil kurang optimal dibanding budidaya konvensional. Faktornya, adalah karena kerusakan ekosistim dan agro-chemis tanah yang mesti diperbaiki dalam bentuk organik. Maka jika dikombinasikan pemakaian pupuk organik, pengendalaian organisme pengganggu tanaman secara baik, dengan inovasi teknologi (seperti SRI, misalnya) yang tepat akan mampu memberikan hasil yang relatif sama. Yang pasti, dalam jangka panjang pertanian organik memberikan jaminan akan kualitas tanah dan ekosistem lokal yang lebih baik. Pengalaman Yayasan Bina Sarana Bakti, di Cisarua telah membuktikan hal ini setelah 15 tahun bergelut di bidang pertanian organik.
Sebenarnya, argumentasi ekonomis bersumber pada paham reduksionisme juga. Ukurannya adalah kuantifikasi yang bersifat logis dan material. Profit atau keuntungan menjadi determinan pokok. Dalam pemahaman ini sebenarnya para pengusaha tidak (harus) peduli bahwa usahanya ramah lingkungan atau tidak, karena yang penting baginya adalah untung. Jadi, seandainya dalam hitung-hitungan ekonomis pertanian organik memang menjanjikan keuntungan, maka pengusaha tak akan ragu-ragu masuk ke dalamnya.
Ilustrasi dalam bagian pertama tulisan ini telah mengindikasikan hal ini. Ketika permintaan meningkat maka ‘potential dollar’ akan membayanginya, sehingga pengusaha akan berlomba memenuhinya. Kelangkaan barang dalam ilmu ekonomi akan diikuti dengan kenaikan harga. Produk pertanian organik menjadi produk eksotis yang dicari. Inilah daya tarik mode dan trend pertanian dunia sekarang ini. Jelas, apabila dapat memenuhi kriteria dan standar produk organik, dalam ekspor yang kosong itu maka jelas profit akan diperoleh.
Jadi, keraguan bahwa pertanian organik tidak menguntungkan secara teknis kini, dapat diretas dengan adanya premium price di tingkat konsumen, utamanya di negara-negara maju. Maka tidak mengherankan jika sekarang mulai bermunculan pengusaha pertanian organik skala besar di Indonesia, seperti Maforina, milik Syarifuddin Karama. Bahkan tidak sedikit yang merupakan pemain asing seperti Forest Trade (Amerika) di Sumatra dan Maharishi Global Trading (Belanda) di Sulawesi. Sebenarnya, disini juga membuktikan bahwa pertanian organik tidak semata soal teknologi bukan?
Namun, bagaimanapun juga di mata para birokrat, akademisi dan pengambil kebijakan politik pertanian, pertanian organik masih merupakan permata yang terselimuti kabut. Tak pernah kelihatan kilapnya. Diragukan kadar (logam) kemuliaannya.

Kekuatan Bisnis Jadi ancaman
Meskipun para birokrat, peneliti dan pengambil keputusan politik pertanian masih sangsi akan mode pertanian organik, tapi secara nyata pertanian ini mulai bermunculan. Pemicu utamanya adalah keuntungan ekonomis. Bisnis pertanian ini makin banyak dilirik pihak swasta karena menyimpan keuntungan besar (pangsa pasar yang cukup besar).
Di sini bisnis pertanian organik sama saja dengan bisnis lainnya. Yang dicari tetap keuntungan Soal lingkungan menjadi sehat adalah ‘bonus’ alias unintended consequences. Memang dalam hal ini ‘bonus’nya bernilai lebih, karena tidak saja menyerap lapangan kerja baru tapi juga merehabilitasi lingkungan. Dengan demikian bisnis pertanian organik memberikan kredit poin tersendiri. Apakah dengan demikian bisnis ini tidak perlu dicermati?
Akan tetapi perlu diwaspadai bahwa salah satu watak bisnis kapitalistis adalah mencari profit yang sebesar mungkin. Sehingga jika ada peluang segala cara akan menjadi sah/benar. Kecenderungan ini tampak pada pemilik-pemilik modal besar yang secara perlahan mulai menggusur atau mencaplok usaha-usaha kecil.
Gejala demikian sudah tampak pada sektor pertanian organik. Konglomerat Setiawan Djodi misalnya, telah mendirikan Bio-Kantata, sebuah perusahaan pupuk organik di Pasuruan, Jawa Timur. Perusahaan ini bekerjasama dengan kelompok petani, dengan dukungan pupuk dari perusahaan dan menjamin pasarnya, untuk membudidayakan padi organik. Dalam kerjasama ini petani diuntungkan. Kini, perusahaan ini mulai menjalin jaringan kerjasama dengan berbagai kelompok tani di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Contoh lain adalah ketika di California awalnya pertanian organik diusahakan oleh petani dalam skala kecil dan dijual ke pedagang dan retail kecil independen. Namun sekarang, Wild Oats, perusahaan ritel besar yang dengan perlahan mulai mengambil alih peran pedagang kecil, maka kini ritel tersebut telah memiliki tak kurang dari 105 supermarket produk organik di seluruh California (Jolly, 2000). Para pedagang kecil jika mau bertahan harus bergabung ke Wild Oats. Tak terasa telah terjadi marjinalisasi industri kecil produk organik oleh konglomerat besar. Pada gilirannya, kejadian ini tidak saja menyebabkan struktur pasar yang tidak bersaing sempurna (kompetitif) tetapi juga memperlebar jurang distribusi pendapatan kesejahteraan.
Tampaknya tidak ada yang aneh dengan pola diatas. Di sini awalnya petani cukup diuntungkan, lingkungan juga menjadi sehat. Tetapi, akan petani selamanya diuntungkan? Ketika suatu perusahaan mengelola sarana produksi, mengkoordinir budidaya dan memasarkan hasil (menguasai hulu sampai hilir) pasti memiliki kekuatan yang dominan dalam pengambilan keputusan. Petani kemudian hanya menjadi pelaksana teknis dari agribisnis perusahaan tersebut dan kembali masuk ke pola PIR-nya perkebunan. Petani menjadi tergantung, karena input dan pasarnya telah dijamin. Tanpa sadar, petani akan menjadi buruh di lahannya sendiri.
Mungkin kesejahteraan petani lebih baik, tetapi situasi ini tidak merubah kondisi petani dari ketergantungan terhadap pihak luar. Sekali lagi, demokrasi ekonomi menjadi utopia dalam kenyataan ini.
Kondisi diatas menyiratkan kekuatiran bahwa pertanian organik ke depan (mungkin) hanya akan menyelesaikan persoalan ekologi, tetapi tidak membebaskan petani. Situasinya menjadi tidak berbeda dengan era revolusi hijau, yang membedakan dulu tergantung pada perusahaan input kimia, sekarang pada perusahaan input organik. Selain itu, demokrasi ekonomi juga semakin sulit manakala perusahaan raksasa menguasai hulu hingga hilir seluruh rantai bisnis.

By: Indro Surono & Fendi Koto
Source: RantauNet

Pertanian Organik

August 29, 2008 at 10:32 am | Posted in Consumerism, Food, Green Consumerism, Organic Farming | Leave a comment

Cara Membuat Kompos
Kompos adalah pupuk organik yang terbuat dari kotoran hewan dan diproses dengan bantuan bakteri.

Bahan dan Komposisi:
100 kg arang sekam berambut
200 kg kotoran hewan
3-5 kg dedak atau bekatul
0,5 kg gula pasir atau gula merah yang dicairkan dengan air
0,5 liter bakteri
Air secukupnya

Cara Pembuatan:
Arang sekam, kotoran hewan, dedak, dan gula dicampur sampai rata dalam wadah yang bersih dan teduh. Jangan terkena hujan dan sinar matahari secara langsung.
Campurkan bakteri ke dalam air kemudian siramkan campuran di atas sambil diaduk sampai rata.
Tutup dengan plastik atau daun-daunan.
Tiap dua hari sekali siram dengan air dan diaduk-aduk.
Dalam 10 (sepuluh) hari kompos sudah jadi.

Cara Pembiakan Bakteri
Untuk menghemat biaya, bibit bakteri EM4 yang dibeli di toko atau koperasi Saprotan dapat dikembangbiakkan sendiri, sehingga kebutuhan pupuk organik untuk luas lahan yang ada dapat dipenuhi. Adapun prosedur pembiakan bakteri EM4 adalah sebagai berikut:

Bahan dan Komposisi:
1 liter bakteri
3 kg bekatul (minimal)
¼ kg gula merah/gula pasir/tetes tebu (pilih salah satu)
¼ kg terasi
5 liter air

Alat dan Sarana:
Ember
Pengaduk
Panci pemasak air
Botol penyimpan
Saringan (dari kain atau kawat kasa)

Cara Pembiakan:
Panaskan 5 liter air sampai mendidih.
Masukkan terasi, bekatul dan tetes tebu/gula (jika memakai gula merah harus dihancurkan dulu), lalu aduk hingga rata.
Setelah campuran rata, dinginkan sampai betul-betul dingin! (karena kalau tidak betul-betul dingin, adonan justru dapat membunuh bakteri yang akan dibiakkan).
Masukkan bakteri dan aduk sampai rata. Kemudian ditutup rapat selama 2 hari.
Pada hari ketiga dan selanjutnya tutup jangan terlalu rapat dan diaduk setiap hari kurang lebih 10 menit.
Setelah 3-4 hari bakteri sudah dapat diambil dengan disaring, kemudian disimpan dalam botol yang terbuka atau ditutup jangan terlalu rapat (agar bakteri tetap mendapatkan oksigend ari udara).
Selanjutnya, botol-botol bakteri tersebut siap digunakan untuk membuat kompos, pupuk cair maupun pupuk hijau dengan komposisi campuran seperti yang akan diuraikan dibawah ini.
Catatan: Ampas hasil saringan dapat untuk membiakkan lagi dengan menyiapkan air kurang lebih 1 liter dan menambahkan air matang dingin dan gula saja.

Memahami Pertanian yang Berkelanjutan
Dewasa ini, istilah ‘Pertanian Berkelanjutan’ semakin sering digunakan. Sebagian orang mungkin pusing dengan kata tersebut. Oleh karena itu, perlu dijelaskan secara ringkas dan padat perihal pengertian istilah ‘pertanian berkelanjutan’ (sustainable agriculture).
Penjelasan berikut ini disarikan dari dua buku: (1) karangan Coen Reijntjes, Bertus Haverkort, dan Ann Waters-Bayer, Farming for the Future: An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture, Netherland: ILEIA, 1992; dan (2) buku karangan Jules N Pretty, Regenerating Agriculture: Policies and Practice for Sustainability and Self-Reliance, London: Earthscan, 1996.
Kata ‘berkelanjutan’ (sustainable), sebagaimana dalam kamus, mengacu pada makna “mengusahakan suatu upaya dapat berlangsung terus-menerus, kemampuan menyelesaikan upaya dan menjaga upaya itu jangan sampai gagal”. Dalam dunia pertanian, ‘berkelanjutan’ secara mendasar berarti upaya memantapkan pertanian tetap menghasilkan (produktif) sembari tetap memelihara sumber daya dasarnya.
Sebagai contoh, Komite Penasehat Teknis Grup Konsultatif Riset Agraria Internasional (TAC/CGIAR) 198 menyatakan, “Pertanian berkelanjutan adalah manajemen sumber-sumber daya secara berhasil bagi agraria untuk mencukupi perubahan-perubahan kebutuhan manusia sembari tetap merawat dan meningkatkan kualitas lingkungan dan perbaikan sumber-sumber daya alam.”
Dengan demikian, pertanian berkelanjutan merupakan suatu pilihan lain atau “tandingan” bagi pertanian modern. Akan tetapi, sebagai tandingan bagi pertanian modern, selain kata berkelanjutan, ada juga yang menggunakan istilah:
pertanian alternatif,
regeneratif,
input eksternal rendah,
bekelanjutan input rendah,
bekelanjutan input seimbang,
conservasi-sumber daya,
biologis,
alamiah,
pertanian ekologis (ramah lingkungan),
agro-ekologis,
pertanian organis,
biodinamis, dan lain sebagainya.
Baik pertanian berkelanjutan dan berbagai istilah lainnya, umumnya mengandung suatu makna penolakan terhadap pertanian modern. Penolakan itu karena pertanian modern diartikan sebagai cara bertani yang menghabiskan sumber daya, pertanian industri, dan pertanian input eksternal tinggi atau intensif.
Sebagai gambaran sederhana, pertanian modern memakai masukan (input) luar seperti pupuk pabrik, bibit pabrik, pestisida dan herbisida kimia pabrik, yang umumnya merusak kelestarian tanah dan alam. Sebaliknya, suatu pertanian berkelanjutan lebih mengandalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia seperti bibit lokal, sumber air, matahari, dan teknologi yang ramah lingkungan; dan juga sangat mengutamakan pemanfaatan pupuk kandang (kompos) dan pengendali hama alami atau pestisida dari bahan-bahan alami.
Oleh karena itu, inti pemahaman pertanian berkelanjutan adalah sangat mengutamakan pemanfaatan sumber daya lokal beserta pengetahuan lokal.
Untuk lebih memudahkan pemahaman, Nicanor Perlas mengembangkan konsep pertanian berkelanjutan ILEIA (buku Farming the for Future); dan Perlas berhasil merumuskan Tujuh Dimensi Pertanian Berkelanjutan (baca: Nicanor Perlas, “The Seven Dimensions of Sustainable Agriculture“, makalah pada Konferensi Internasional II Forum Pembangunan Asia yang diadakan ANGOC di Filipina, tanggal 22-26 Februari 1993).
Dari berbagai bahan tersebut, penulis mencoba menyadur tujuh dimensi pertanian berkelanjutan tersebut ke dalam Bahasa Indonesia yang mudah dipahami, sebagaimana berikut ini.
Pertanian berkelanjutan harus menjadi pertanian:
Ramah lingkungan;
Menggairahkan kehidupan ekonomi;
Adil dan layak secara sosial;
Peka pada nilai budaya;
Mampu mengembangkan teknologi tepat guna;
Mampu menjadi pengetahuan yang menyeluruh;
Menjadi obor bagi kemanusiaan.
Namun, semua itu tidak berarti tanpa menyadari bahwa pilar terpenting dari pertanian berkelanjutan, selain lingkungan alam, adalah manusia. Pertanian berkelanjutan akan terwujud bila manusia bersungguh-sungguh memahami bahwa cita-cita pertanian berkelanjutan hanya dapat terwujud apabila dilandasi suatu pembaruan atau reformasi atas sumber-sumber daya alam dan agraria di mana rakyat secara adil dan setara dapat merasakan dan memanfaatkannya.

Peluang Indonesia dalam Pertanian Organik
Seiring dengan maraknya gerakan konsumen hijau, kesadaran konsumen untuk membeli produk yang ramah lingkungan semakin meningkat, termasuk di dalamnya produk-produk pertanian yang sehat dan bebas bahan kimia.
Munculnya berbagai persyaratan perdagangan internasional seperti ISO-9000, ISO-14000, dan ecolabeling. Berbagai persyaratan ini menandakan bahwa masyarakat internasional tidak lagi menghendaki produk pertanian yang mengandung bahan-bahan kimia dan merusak kesehatan, lingkungan, dan generasi berikutnya.
Pertanian organik menjadi alternatif bagi bangsa Indonesia karena jika pola pertanian modern yang padat bahan kimia tetap dilakukan seperti sekarang ini, dikhawatirkan Indonesia tidak dapat lagi mengekspor produk-produk pertaniannya.
Selain itu, bertani secara organis merupakan terobosan bagi para petani di tengah membubung tingginya harga pupuk dan pestisida kimia.
Sebenarnya, ada dua cara untuk mengatasi tingginya harga pupuk dan pestisida buatan pabrik. Pertama, menyediakan modal yang lebih besar. Ini dapat dilakukan, misalnya, dengan mendapatkan pinjaman Kredit Usaha Tani (KUT). Tentu saja petani terkena beban hutang. Kedua, petani membuat pupuk sendiri dengan bahan-bahan alami yang telah disediakan oleh alam dan melakukan pengendalian hama. Cara kedua relatif jauh lebih murah dan menyehatkan.
Petani organik menjadi petani yang mandiri dan merdeka, karena bahan-bahan bertani diperoleh dari alam sekitar. Petani tidak lagi menjadi tergantung kepada para produsen benih, pupuk, maupun pestisida. Selain itu, pertanian organik memberi ruang yang luas bagi petani untuk mengembangkan kreativitas bertaninya, seperti memanfaatkan bahan-bahan tidak berguna untuk kegiatan bertaninya. Sampah digunakan menjadi pupuk. Kaleng bekas dimanfaatkan untuk mengusir burung. Pertanian organik menjadi bagian dari upaya pemberdayaan petani, karena mengurangi ketergantungan petani terhadap pihak-pihak atas desa yang selama ini mengeksploitasi petani.
Dalam konteks pertanian yang berkelanjutan, model pertanian organik merupakan suatu strategi penguatan pemahaman petani akan harkat hidupnya, dan masa depan pertanian Indonesia. Dalam pemahaman inilah, hak petani atas tanah, perlu ditegakkan. Oleh karena itu, Reforma Agraria Indonesia tetap menjadi agenda pokok perjuangan petani Indonesia.

Labelisasi Produk Organik
Gerakan pertanian organik sudah dimulai di mancanegara semenjak tahun 1970-an. Akibat lebih banyak dampak buruk revolusi hijau, maka masyarakat lebih menginginkan produk pertanian yang baik bagi kesehatan manusia dan sekaligus ramah lingkungan. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sangat memperhatikan hal ini. Dengan demikian, secara pelahan pertanian organik berkembang dan produknya harus mempunyai standar yang lebih tinggi. Pertanian organik juga berkembang di Asia, terutama di Jepang, Thailand, Malaysia, dan Filipina.
Sekarang ini, negara Eropa dan Amerika sangat menyukai produk organik. Sekitar 3 ribu ton/tahun sayuran organik beku dan olahan buah-buahan organik berpeluang menembus pasar. Dalam perkembangan ini, para pedagang sering memasang label organik untuk menaikkan harga dagangannya. Oleh karena itu, misalnya, produk organik di Jerman harus diawasi dan dipasangi label ekolabeling (label ramah lingkungan).
Demikian juga halnya di Jepang. Karena sering ditipu pedagang dan pengusaha agribisnis, maka konsumen dan petani Jepang bergabung dalam JOAA (Japan Organic Agriculture Association). Mereka tidak mau diatur-atur pemerintah. Konsumen juga tidak mendapat jaminan tentang kualitas dan bagaimana produk itu ditanam.
Oleh karena itu, konsumen Jepang memperkenalkan konsep tei kei. Konsep ini artinya konsumen membeli langsung sayuran atau produk pertanian lainnya secara langsung dari petani. Dengan demikian, selain dapat memastikan kualitas produk. Konsumen dan produsen dapat berbincang-bincang dan mempererat keakraban.
Petani yang menerapkan konsep tei kei, menentukan harga produknya berdasarkan biaya produksi dan biaya hidup yang dia butuhkan sebagai petani. Harga produk menjadi mahal dibandingkan harga pasar. Meskipun demikian, konsumen tetap membeli karena puas dengan kualitas tanaman organik. Sehingga, petani tetap bergairah untuk menekuni pertanian organik.

Kesadaran Organis
Kesadaran akan pentingnya alam bagi kelangsungan hidup umat manusia memunculkan berbagai gerakan dengan isu penyelamatan lingkungan hidup. Secanggih apa pun teknologi yang diciptakan, manusia tetap bergantung kepada alam. Berbagai gerakan seperti gerakan antinuklir, konsumen hijau, konservasi hutan, perlindungan satwa, dan di bidang pertanian —gerakan pertanian organik— merebak di mana-mana.
Pertanian organik bukan saja tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia, tetapi juga merupakan sistem pertanian selaras dengan alam, berguna bagi kesehatan manusia. Lebih jauh lagi, pertanian organik menjadikan petani sebagai manusia yang merdeka dan mandiri. Pertanian organik mengkombinasikan sistem pertanian dan keraifan tradisional (indigenous knowledge) dengan ilmu pengetahuan pertanian yang terus berkembang.
Kata kunci dari pertanian organik adalah organis, yang berarti menyadari bagian dari alam, baik dilihat dari sisi petaninya, tanaman, maupun pola budi dayanya. Oleh karena itu, dalam pertanian organik, petani organis sebagai individu maupun kelompok selalu bersikap positif, memelihara dan melayani alam sebagai upaya timbal-balik sebab alam telah lebih dulu melayani manusia.
Petani organis berusaha untuk mandiri. Lahan, bahan, tenaga dan waktu digunakan secara hemat dan tepat. Bahan-bahan yang dimasukkan ke dalam katagori sampah atau terbuang, oleh petani organis diteliti agar bermanfaat. Bagi petani organis, tidak ada yang tidak berguna.
Menjaga dan memelihara kesuburan tanah merupakan sikap petani organis yang terpenting. Bagi petani, tanah adalah kehidupan itu sendiri. Bagian tanah yang dilindungi adalah bagian top soil, tempat tanaman mengambil zat-zat yang diperlukan. Dengan melakukan pemulsaan menggunakan bahan-bahan setempat, seperti sisa-sisa panen, tebasan rumput,
pangkasan tanaman pagar hidup dan sebagainya, tanah dilindungi, dipelihara, dan dihidupkan. Mulsa yang lapuk akan menjadi pupuk organik. Melindungi tanah berarti juga melindungi beragam organisme seperti cacing tanah dan mikroorganisme yang mempunyai peranan penting dalam proses penyuburan tanah.
Karena prinsip organis, maka pupuk dan pestisida kimia ditolak. Hama tidak dibasmi. Melalui pestisida botani yang lebih ramah lingkungan, hama dikendalikan. Penggunaan berlebihan pestisida botani juga akan mematikan musuh (predator) alami hama. Pestisida botani digunakan hanya jika populasi hama meningkat. Jika sudah terjadi lagi keseimbangan antara hama dengan predatornya atau pemangsanya, maka dengan semestinya kita menghentikan penggunaan pestisida botani.

Mitos Pertanian Modern
Dunia pertanian modern adalah dunia mitos keberhasilan modernitas. Keberhasilan diukur dari berapa banyaknya hasil panen yang dihasilkan. Semakin banyak, semakin dianggap maju. Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an.
Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah.
Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:
Berbagai organisme penyubur tanah musnah;
Kesuburan tanah merosot/tandus;
Tanah mengandung residu (endapan) pestisida;
Hasil pertanian mengandung residu pestisida;
Keseimbangan ekosistem rusak; dan
Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.
Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri.
Nenek moyang memanfaatkan pupuk hijau dan kandang untuk menjaga kesuburan tanah, membiakkan benih sendiri, menjaga keseimbangan alam hayati dengan larangan adat. Mereka mempunyai sistem organisasi sosial yang sangat menjaga keselarasan, seperti organisasi Subak di Bali dan Lumbung Desa di pedesaan Jawa.
Dengan pertanian modern, petani justru tidak mandiri Padahal, FAO (lembaga pangan PBB), telah menegaskan Hak-Hak Petani (Farmer‘s Rights) sebagai penghargaan bagi petani atas sumbangan mereka. Hak-hak Petani merupakan pengakuan terhadap petani sebagai pelestari, pemulia, dan penyedia sumber genetik tanaman.
Hak-hak petani dalam deklarasi tersebut mencakup: hak atas tanah, hak untuk memiliki, melestarikan dan mengembangkan sumber keragaman hayati, hak untuk memperoleh makanan yang aman, hak untuk mendapatkan keadilan harga dan dorongan untuk bertani secara berkelanjutan, hak memperoleh informasi yang benar, hak untuk melestarikan, memuliakan, mengembangkan, saling tukar-menukar dan menjual benih serta tanaman, serta hak untuk memperoleh benihnya kembali secara aman yang kini tersimpan pada bank-bank benih internasional (Wacana, edisi 18, Juli-Agustus 1999).
Dalam revolusi hijau, petani tidak boleh membiakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia —yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah.
Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang.
Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan.
Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: “Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam pikiran-pikiran Anda sendiri.”
Apa yang dikembangkan oleh para ilmuwan telah membedakan mana yang maju dan terbelakang, modern dan tradisional, serta efisien dan tidak efisien. Sedangkan buktinya, sistem pertanian yang disebut sebagai yang terbelakang, tradisional dan tidak efisien itu ternyata lebih bersifat ekologis, tidak merusak alam.

Pilihan untuk Kemerdekaan dan Kemandirian Petani
Air susu sama saja air tuba! Itulah kesimpulan yang didapat jika mengetahui hasil penelitian WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) tentang metabolisme, yang ternyata menunjukkan bahwa air susu ibu (ASI) di Pulau Jawa ada yang telah tercemar pestisida. Padahal ASI dikampanyekan sebagai susu terbaik bagi bayi. Secara tidak langsung, proses ancaman kehidupan berlangsung lewat kasih sayang para ibu. Lalu, apa yang dirasakan seorang suami yang melihat istrinya sedang menyusui anaknya dengan air susu yang tercemar? Itulah yang diungkapkan oleh Tanto D. Hobo, seorang petani organik dalam lokakarya petani peringatan Hari Pangan Sedunia di Ciwidey, Bandung yang berlangsung pada tanggal 16-18 Oktober 1999 lalu.
Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat.
Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama —suatu keadaan yang kontradiktif (bertentangan) dengan tujuan pembuatan pestisida— karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama resisten (kebal) dan megakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan.
Akan tetapi, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian petani. Mereka tidak paham dengan bahaya pestisida. Informasi yang sampai kepada mereka adalah “jika ada hama, “pakailah pestisida merk A”.
Para petani juga dibanjiri impian tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para penyuluh pertanian adalah “antek-antek” pedagang yang mempromosikan “keajaiban” teknologi modern ini. Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya erosi.
Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk urea dari tahun ke tahun menurun.

Source:
Pertanian Organik: Kemerdekaan dan Kemandirian Petani
Perlunya Labelisasi Organik
Mitos Pertanian Modern
Kesadaran Organis

Blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.